BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di abad yang modern sekarang ini, orang banyak berminat pada kajian tentang ilmu bahasa (linguistik) semakin banyak. Karena bidang linguistik merupakan bidang yang khusus mengkaji segala aspek berkenaaan dengan kebahasaan. Yang mana didalam bidang linguistik terdapat pula kajian ilmu semantik (ilmu tentang makna). Pemahaman akan hakikat semantik membantu kita dalam memahami seluk beluk makna dalam bahasa. Sebagai salah satu bidang kajian dalam bidang linguistik, semantik menjadi syarat dalam memahami bahasa lebih lanjut. Persoalan makna merupakan persoalan yang menarik dalam kehidupan sehari-hari. Reklame yang dipasang terdapat tulisan “lezzzat” pada mulanya penulis tidak memahami apayang dimaksud oleh pemasang iklan, lama-lama penulis mengerti juga, oh yang dimaksud adalah lezat, enak, sedap. Ketidakmengertian itu muncul karena penulisan yang tampak seandainya ditulis “lezat” maka akan mudah dipahami. Makna merupakan istilah yang paling ambigu dan paling kontroversial dalam teori tentang bahasa. Dalam The Meaning Of Meaning, ogden dan Richards mengumpulkan tidak kurang dari 16 definisi yang berbeda bahkan menjadi 23 jika bagian dipisahkan. Sejak itu, banyak penggunaan baru, implisit atau eksplisit. Dan dimata sejumlah pakar istilah itu telah menjadi tidak dapat dipakai lagi bagi tujuan-tujuan ilmiah. Untuk mengetahui secara mendalam apa yang dimaksudkan dalam istilah makna, perlu ditelusuri melalui disiplin ilmu yang disebu dengan semantik. Dalam semantik dapat diketahui, apakah yang dimaksud dengan makna, bagaimanakan wujud makna, apakah jenis- jenis makna, dan lain sebagainya. sehingga beragkat dari pernyataan diatas penulis dalam makalah ini membahasa hal-hal yang berkaiatan dengan ilmu semantik dan pembahasannya berdasarkan rujukan dari buku-buku yang terkait dengan pembahasan ilmu semantik ini.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Ilmu Semantik?
2. Apa Ruang Lingkup Semantik?
3. Apa Pengertian Dari Makna?
4. Apa Kajian Makna dan Konsep Tentang Makna?
5. Apa medan makna dan komponennya?
C. Tujuan
Adapun tujuan kami dalam penulisan makalah ini yaitu : untuk menambah wawasan penulis dan pembaca tentang apa yang dimaksud ilmu semantik (ilmu tentang makna) dan hal-hal yang berkaitan dengan ilmu semantik.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Semantik Dan Sejarahnya
Kata semantik dalam bahasa Indonesia (Inggris: Semantics) berasal dari bahasa Yunani sema ( kata benda yang berarti “tanda” atau “lambang”). Kata kerjanya adalah semanio yang berarti “menandai” atau “melambangkan”. Yang dimaksud dengan tanda atau lambang di sini sebagai padanan kata sema itu adalah tanda linguistik (Prancis: signe linguistique) seperti yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure (1966), yaitu terdiri dari (1) komponen yang mengartikan, yang berwujud bentuk-bentuk bunyi bahasa dan (2) komponen yang diartikan atau makna dari komponen yang pertama itu. Kedua komponen ini adalah merupakan tanda atau lambang, sedangkan yang ditandai atau dilambanginya adalah sesuatu yang berada di luar bahasa yang lazim disebut referen atau hal yang ditunjuk. Kata semantik ini kemudian disepakati sebagai istilah yang digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya atau dengan kata lain, bidang studi dalam linguistik yang mempelajari makna atau arti dalam bahasa. Oleh karena itu, kata semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu salah satu dari tiga tataran analisis: fonologi, gramatika, dan semantik. Kata semantik sebenarnya merupakan istilah teknis yang mengacu pada studi tentang makna. Istilah semantik dibagi subdisiplin linguistik muncul pada abad ke- 19. Yakni pada tahun 1825 seorang pakar klasik yang bernama C. Reisig mengemukakan pendapatnya tentang tata bahasa yang terbagi menjadi 3 bagian: etimologi, sintaksis, dan semasiologi (ilmu makna). Kemudian dilanjutkan dan diperkenalkan oleh M. Breal yakni berpadanan kata semantique dalam bahasa perancis yang diserap dari bahasa yunani. Kemudian pada periode berikutnya ferdinan de saussure. Pandangan saussure menjadi pandangan strukturalisme, yakni menurutnya bahasa merupakan suatu sistem yang terdiri atas unsur-unsur yang saling berhubungan satu sama lain dan merupakan satu kesatuan. Pandangan ini yang kemudian dijadikan sebagai titik tolak penelitian yang sangat kuat dan mempengaruhi bidang penelitan. Setelah itu, Istilah semantik baru muncul dan diperkenalkan melalui suatu organisasi filologi di Amerika Serikat pada tahun 1894 yang judulnya reflected meaning a point in semantics. Sedangkan di indonesia semantik muncul dan cenderung berkembang pada Tahun 1980-an yang ditandai dengan munculnya artikel ayau buku- buku semantik.
B. Ruang Lingkup Pembahasan Semantik
Seperti yang telah dinyatakan sebelumnya, bahwa semantik dapat mencakup bidang yang lebih luas, baik dari struktur dan fungsi bahasa maupun dari interdisiplin bidang ilmu. Akan tetapi, dalam hal ini ruang lingkup semantik berkisar pada hubungan ilmu makna itu sendiri di dalam linguistic, meskipun faktor nonlinguistik ikut mempengaruhi sebagi fungsi bahasa yang nonsimbolik (emotif dan afektif). Semantik adalah studi suatu pembeda bahasa dengan hubungan proses mental atau simbolisme dalam aktivitas bicara. Ruang lingkup semantik mencakup bidang yang sangat luas, baik dari segi struktur dan fungsi bahasa maupun dari segi interdisiplin bidang ilmu. Namun dalam hal ini ruang lingkup semantik terbatas pada hubungan ilmu makna itu sendiri dibidang linguistik. Meskipun faktor non linguistik ikut mempengaruhi sebagai fungsi bahasa non simbolik (emotif dan afektif). Semantik adalah studi suatu pembeda bahasa dengan hubungan proses mental atau simbolisme dalam aktivitas bicara. (ency Vritanica, 1965). Hubungan antara bahasa dan proses mental dapat dinyatakan dengan beberapa cara. Ada yang menyatakan bahwa proses mental tidak perlu dipelajari karena membingungkan. Ada pula yang menyatakan harus dipelajari secara terpisah dari semantik atau bahasa harus dipelajari secara terpisah, lepas dari semantik tanpa menyinggung proses mental. Tanpa menyinggung hal tersebut kita dapat mengerti sesuatu yang terjadi melalui bahasa. Pendapat tersebut kita jumpai pada aliran behaviorisme yang dipelopori Skinner. Pandangan Sommefelt sama halnya dengan pendapat Skinner bahwa bahasa merupakan hal yang prinsip dalam kehidupan manusia. Bahasa adalah suatu sistem yang harus dipelajari seseorang dari orang lain yang menjadi anggota masyarakat penutur bahasa tersebut. Argumentasi tersebut menyatakan bahwa objek semantik adalah makna. Makna dapat dianalisis melalui struktur dalam pemahaman tataran bahasa (fonologi, morfologi, dan sintaksis). Tataran fonologi dalam hal ini fonem dapat membedakan makna di dalam minimal pair (pasangan minimal) dan fonestem (fonem yang memiliki makna, tetapi tidak melebihi morfem). Makna dapat diteliti melalui fungsi, dalam pemahaman fungsi hubungan antarunsur. Dengan denikian kita mengenal makna leksikal dan makna gramatikal, demikian pula ada makna kata, frase, klausa, kalimat, dan wacana sehingga ruang lingkup semantik dapat menjangkau semua tataran bahasa, fonologi, morfologi, sintaksis, dan wacana, bahkan teks. Unsur- unsur semantik adalah adanya tanda dan lambang. Teori tanda dikembangkan oleh Perre pada abad ke- 18 yang dipertegas dengan munculnya buku The meaning of meaning, karangan Ogden dan Richard pada tahun 1923 dalam perkembangannya, teori tanda dikenal dengan semiotik, yang dibagi dalam 3 cabang yaitu:
• Semantik; berhubungan dengan tanda-tanda;
• Sintaktik, berhubungan dengan gabungan dengan tanda-tanda (susunan tanda-tanda)
• Pragmatik berhubungan dengan asal usul, pemakaian, dan akibat pemakaian tanda-tanda didalam tingkah laku berbahasa.
C. Pengertian Makna
Pengertian makna (sense-bahasa Inggris) dibedakan dari arti (meaning-bahasa Inggris) di dalam semantik. Makna adalah pertautan yang ada di antara unsur-unsur bahasa itu sendiri (terutama kata-kata). Makna, menurut Palmer, hanya menyangkut intrabahasa. Sejalan dengan pendapat tersebut, Lyos menyebutkan bahwa mengkaji atau memberikan makna suatu kata ialah memahami kajian kata tersebut yang berkenaan dengan hubungan-hubungan makna yang membuat kata tersebut berbeda dari kata-kata lain. Arti dalam hal ini menyangkut makna leksikal dari kata-kata itu sendiri, yang cenderung terdapat di dalam kamus, sebagai leksem. Makna adalah pertautan yang ada diantara unsur-unsur bahasa itu sendiri.makna menurut palmer hanya menyangkut intra bahasa. Sejalan dengan pendapat tersebut Lycons menyebutkan bahwa mengkaji atau memberikan makna suatu kata ialah memahami kajian kata tersebut berbeda dari kata-kata yang lain. Arti dalam hal ini menyangkut makna leksikal yang cenderung terdapat didalam kamus sebagai leksikon. Ada 3 hal yang dijelaskan oleh para filosuf sehubungan dengan usaha menjelaskan istilah makna. Yang pertama, menjelaskan makna kata secara alamiah, yang kedua mendeskripsikan kalimat secara alamiah dan yang ketiga menjelaskan makna dalam proses komunikasi. Dalam hubungan ini Kempson berpendapat bahwa dalam menjelaskan istilah makna harus dilihat dari segi (i) kata (ii) kalimat (iii) apa yang dibutuhkan oleh pembicara untuk berkomunikasi.
Makna sebagai penghubung bahasa dengan dunia luar sesuai dengan kesepakatan para pemakainya sehingga dapat saling mengerti. Makna memiliki tiga tingkat keberadaan, yakni:
(1) Pada tingkat pertama makna menjadi isi dari suatu bentuk kebahasaan
(2) Pada tingkat kedua makna menjadi isi dari suatu kebahasaan
(3) Pada tingkat ketiga, makna menjadi isi komunikasi yang mampu membuahkan.
Pada tingkat pertama dan kedua dilihat dari segi hubungannya dengan penutur, sedangkan yang ketiga lebih ditekankan pada makna di dalam komunikasi. Sehubungan dengan tiga tingkat keberadaan makna, Samsuri mengungkapkan adanya garis hubungan antara makna, ungkapan, dan makna. Kajian makna bahasa meliputi:
• Kajian makna Leksikal
• Kajian makna gramatikal
• Kajian makna kontekstual
• Kajian diakronik bahasa
• Kajian makna referensial dan non referensial
• Kajian makna denotatif
• Kajian makna konotatif
• Kajian makna asosiatif
• Kajian makna idiom dan peribahasa
D. Jenis Makna
1. Makna leksikal dan makna gramatikal
Makna leksikal adalah makna leksem, makna butir leksikal atau makna yang secara inheren ada di dalam butir leksikal itu. Leksikal merupakan bentuk adjektif yang diturunkan dari bentuk nomina leksikol (vokabuler , kosa kata,perbendaharaan kata) satuan dari leksikon adalah leksem, yaitu satuan bentuk bahasa yang bermakna. Kalau leksikon kita samakan dengan kosa kata atau perbendaharaan kata, maka leksem dapat kita samakan dengan kata. Dengan demikian leksem diartikan sebagai makna yang bersifat leksikon, bersifat leksem, atauu bersifat kata. Lalu, karena itu dapat pula dikatakan makna leksikal adalah makna yang sesuai dengan referennya, akan yang sesuai dengan observasi alat indra, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita. Umpamanya kata tikus makna leksikalnya adalah sebngsa bintag pengerat yang dapat menyebabkan timbulnya penyait tifus. makna ini tampak jelas dalam kalimat tikus itu mati di terkam kucing, atau dalam kalimat panen kali ini gagal akibat serangan hama tikus. Kata tikus pada kalimat kedua kalimat itu jelas merujuk kepada binatang tikus, bukan kepada yang lain. Tetapi dalam kalimat yang menjadi tikus di gudang kami ternyata berkepala hitam bukanlah dalam makna leksikal karena tidak merujuk kepada binatang tikus melainkan kepala seorang manusia, yaitu perbuatannya memang mirip dengan perbuatan tikus. Contoh lain, kata kepal dalam kalimat kepalanya hancur kena pecahan granat adalah dalam makna leksikal, tetapi dalam kalimat Raporny dithan kepala sekolah karena ia belum membayar uang SPP adlah ukan bermaka leksikal. Kata memtik dalam kalimat ibu memetik sekuntum bunga mawar adalah bermakn leksikal, sedangkan dalam kalimat kia dapat memetik manfaat dari cerita itu adalah bukan bermakna leksikal. Kalau disimak contoh-contoh di atas dapat disimpulkn bahwa makna leksikal dari suatu kat adalah gambaran yang nyata tentang suatu konsep, seperti yang dilambangkan kata itu. Kata leksikal suatu kat sudah jelas bagi seorang bahasawan tanpa kehadiran kat itu dalam suatu konteks kalimat. Berbeda dengan makna yang bukan makna leksikal, yang baru jels apabila berada dalam konteks kalimat atau satuan sintaksis lain. Dalam beberapa buku pelajaran, bahasa sering dikatakan bahwa makna leksikal adalah seperti yang terdapat dalam kamus. Pernyataan ini tidak seratus persen benar. Kalau kamusnya adalah kamus kecil atau sebuah kamus dasar maka pernyataan itu benar. Kalau kamusnya bukan kamus dasar melainkan kamus umum atau kamus besar maka pernyataan itu tidak benar. sebab, dalam kamus itu didaftarkan juga makna-makna idiom atau kiasan. Makna leksikal biasanya dipertentangkan atau dioosisikan dengan maka gramatikal. Kalau makna leksikal itu berkenaan dengan makna leksem atau kata yang sesuai dengan referennya maka makna gramatikal ini adalah makna yang hadir sebagai akibatadanya proses gramatia seperti proses afikasi, proses reduplikasi, dan proses komposisi. Proses afiksasi awalan ter-pada kata angkat dalam kalimat Batu seberat itu terangkat juga ole adik melahirkan makna’dapat’ dan dalam kalimat ketika balok itu ditarik, papan itu terangkat ke atas melahirkan makna gramatikal’ tidak sengaja’. Sebenarnya awalan ter-, atau juga imbuhan-imbuhan lain, tidak mempunyai makna sebuah imbuhan, seperti awalan ter- di atas, baru memiliki makna atau kemungkinkan makna apabila sudah berproses dengan kata lain. seperti conto kata terangkat di atas yang memiliki kemungkinan makna (1) dapat, atau (2) tidak sengaja. sedangkan kepastian maknanya baru diperoleh setelah berada dalam konteks kalimat atau satuan sintaksis lain, seperti makna ‘dapat’ di dalam kalimat Batu seberat itu terangkat juga oleh adik, dan makna tidak sengaja dalam kalimat ‘ketika balok itu ditarik , papan itu terangkat ke atas. Oleh karrena itu makna sebuah kata, baik kata dasar maupun kata jadian, sering sangat tergantung pada konteks kalimat atau konteks situasi. maka, makna gramatikal ini sering juga disebut makna kontekstual atau makna situasional. Selain itu bisa juga disebut makna struktural karena proses dan satuan-satuan gramatika itu selalu berkenaan dengan struktur ketatabahasaan. Makna gramatikal itu bermacam-macam. setiap bahsa mempunyai sarana atau alat gramatika tertentu untuk menyatakan makna-makna, atau nuansa-nuansa makna gramatikal itu. Untuk menyatakan makna ‘jamak’ bahasa indonesia menggunakan proses reduplikasi seperti kata buku yang bermakna ‘sebuah buku’ menjadi buku-buku yang bermakna ‘banyak buku’ bahasa inggris untuk menyatakan ‘jamak’ menggunakan penambahan morfem atau menggunakan bentuk khusus. Penyimpangan makna dan bentuk-bentuk gramatikal yang sama lazim juga terjadi dalam berbagai bahasa. Dalam bahasa Indonesia, misalnya bentuk-bentuk kesedihan, ketakutan, kegembiraa dan kesenangan memiliki makna gramatikal yang sama, yaitu hal yang disebut kata dasarnya. Tetapi bentuk atau kata kemaluan yang bentuk gramatiknya sama dengan deretan kata di atas, memiliki makna yang lain. Contoh lain, kata menyedihkan, menakutkan, dan mengalahkan memiliki makna gramatika yang sama yaitu membuat jadi yang disebut kata dasarnya. Tetapi kta memenagkan, dan menggalakan yang dibentuk dari kelas kata dan imbuhan yang sama dengan ketiga kata tersebut; sebab bukan bermakna membuat jadi menang dan membuat jadi galak melainkan bermakna’ memperoleh kemenangan ‘ dan ‘menggiatkan. Makna gramatikal acapkali juga dapat diketahui tanpa mengenal makna leksikal dan unsur-unsurnya.
2. Makna Referensial dan Nonreferensial
Makna referensial adalah makna yang berhubungan langsung dengan kenyataan atau referent (acuan), makna referensial disebut juga makna kognitif, karena memiliki acuan. Perbedaan makna referensial dan makna Nonreferensial berdasarkan ada tidak adanya referen dari kata-kata itu. Bila kata-kata itu mempunyai referen, yaitu sesuatu diluar bahasa yang diacu oleh kata itu maka kata tersebut disebut kata bermakna referensial, Kalau kata-kata itu tidak mempunyai referen maka kata itu disebut kata bermakna Nonreferensial. Kata meja dan kursi termasuk kata yang bermakna referensial karena keduanya mempunyai referen yaitu sejenis perabot rumah tangga yang disebut “meja” dan “kursi” sebaliknya kata karena dan tetapi tidak mempunyai referen. Jadi, kata karena dan tetapi termasuk kata yang bermakna nonreferensial. Dapat disimak bahwa kata-kata yang termasuk kategori kata penuh, seperti sudah disebutkan di muka, adalah termasuk kata-kata yang bermakna referensial dan yang termasuk kelas kata tugas seperti preposisi dan kongjungsi, adalah kata-kata yang termasuk kata bermakna nonreferensial. Karena kata-kata yang termasuk preposisi dan kongjungsi tidak mempunyai referen maka banyak orang menyatakan kata-kata tersebut tidak memiliki makna. Kata-kata tersebut hanya memiliki fungsi atau tugas maka dinamailah kata-kata tersebut dengan nama kata fungsi atau kata tugas. Sebenarnya kata-kata ini juga mempunyai makna, hanya tidak mempunyai referen. Hal ini jelas dari nama yang diberikan semantik, yaitu kata yang bermakna nonreferensial. Mempunyai makna, tetapi tidak memiliki referen.
3. Makna Denotatif dan Konotatif
Denotasi mengacu kepada makna leksis yang umum dipakai atau singkatnya makna yang biasa, objektif, belum dibayangi perasaan, nilai, dan rasa tertentu. Dikatakan objektif sebab makna denotasi ini berlaku umum. Sebaliknya, makna konotasi bersifat subjektif dalam pengertian bahwa ada pergeseran dari makna umum karena sudah ada penambahan rasa dan nilai tertentu. Sebuah kata disebut mempunyai makna konotatif apabila kata itu mempunyai “nilai rasa”, baik positif maupun negative. Jika tidak memiliki nilai rasa maka dikatakan tidak memiliki konotasi. Tetapi dapat juga disebut berkonotasi netral. Makna denotatif pada dasarnya sama dengan makna referensial sebab makna denotatif ini lazim diberi penjelasan sebagai makna yang sesuai dengan hasil observasimenurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau pengalaman lainnya. Jadi makna denotatif ini menyangkut informasi-informasi factual objektif. Lalu karena itu makna denotasi sering disebut sebagai “makna sebenarnya” umpamanya kata perempuan dan wanita, kedua kata ini mempunyai makna denotasi yang sama yaitu manusia dewasa bukan laki-laki. Begitu juga kata gadis dan perawan, kata istri dan bini. Kata gadis dan perawan memiliki makna denotasi yang sama yaitu wanita yang belum bersuami atau belum pernah bersetubuh, sedangkan kata istri dan bini memiliki makna denotasi yang sama, yaitu wanita yang mempunyai suami. Dalam beberapa buku pelajaran, makna denotasi sering juga disebut makna dasar, makna asli, atau makna pusat. Sedangkan makna konotasi disebut sebagai makna tambahan. Penggunaan makna dasar, makna asli, atau makna pusat untuk menyebut makna denotasi rasanya tidak menjadi persoalan, tetapi penggunaan makna tambahan untuk menyebut makna konotasi kiranya perlu dikoreksi, yakni hanya tambahan yang sifatnya memberi nilai rasa, baik positif maupun negative. Atau jika tidak bernilai rasa dapat juga disebut berkonotasi netral. Makna konotasi sebuah kata dapat berbeda dari satu kelompok masyarakat yang satu dengan yang lain, sesuai dengan pandangan hidup dan norma-norma penilaian kelompok masyarakat tersebut. Umpamanya babi, di daerah-daerah yang penduduknya mayoritas beragama Islam, memiliki konotasi negatif karena binatang tersebut menurut hukum Islam adalah haram dan najis. Sebaliknya di daerah-daerah yang penduduknya mayoritas bukan Islam seperti di pulau Bali atau pedalaman Irian Jaya, kata babi tidak berkonotasi negatif. Kata laki dan bini dalam masyarakat Melayu Jakarta tidak berkonotasi negatif, tetapi dalam masyarakat intelek Indonesia dianggap berkonotasi negatif.
4. Makna Kata dan Makna Istilah
Pembedaan adanya makna kata dan makna istilah berdasarkan ketepatan makna kata itu dalam penggunaannya secara umum dan secara khusus. Makna sebuah kata, walaupun secara sinkronis tidak berubah, tetapi karena berbagai faktor dalam kehidupan, dapat menjadi bersifat umum. Makna kata itu baru menjadi jelas kalau sudah digunakan di dalam suatu kalimat. Kalau lepas dari konteks kalimat, makna kata itu menjadi umum dan kabur. Misalnya kata tahanan. Mungkin saja yang dimaksud dengan tahanan itu adalah orang yang ditahan, tetapi bisa juga hasil perbuatan menahan, atau mungkin makna yang lainnya lagi. Begitu juga kata air. Apa yang dimaksud dengan kata air itu? apakah air yang berada di sumur? di gelas? atau di bak mandi? atau yang turun dari langit? Kemungkinan-kemunginan itu bisa saja terjadi karena kata air itu lepas dari konteks kalimatnya. Berbeda dengan kata yang maknanya masih bersifat umum, maka istilah memiliki makna yang tetap dan pasti. Ketepatan dan kepastian makna istilah itu karena istilah itu hanya digunakan dalam bidang kegiatan atau keilmuan tertentu. Jadi, tanpa konteks kalimatnya pun makna istilah itu sudah pasti. Misalnya, kata tahanan di atas. Sebagai kata, makna kata tahanan masih bersifat umum, tetapi sebagai istilah misalnya istilah dalam bidang hukum makna tahanan itu sudah pasti, yaitu orang yang ditahan sehubungan dengan suatu perkara. Makna kata sebagai istilah memang dibuat setepat mungkin untuk menghindari kesalahpahaman dalam bidang ilmu atau kegiatan tertentu. Dalam bidang kedokteran, misalnya kata tangan dan lengan digunakan sebagai istilah untuk pengertian yang berbeda. Tangan adalah dari pergelangan sampai ke panggul bahu. Sebaliknya dalam bahasa umum lengan dan tangan dianggap bersinonim, sama maknanya.
5. Makna Konseptual dan Makna Asosiatif
Makna konseptual adalah makna yang sesuai dengan konsepnya, makna yang sesuai dengan referennya dan makna yang bebas dari asosiasi atau hubungan apapun. Jadi, sebenarnya makna konseptual ini sama dengan makna referensial, makna leksikal, dan makna denotative. Sedangkan makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan keadaan di luar bahasa. Misalnya, kata melati berasosiasi dengan makna suci atau kesucian, kata merah berasosiasi dengan makna berani atau juga dengan golongan komunis, kata cendrawasih berasosiasi dengan makna indah. Makna asosiatif ini sesungguhnya sama dengan perlambang-perlambang yang digunakan oleh suatu masyarakat bahasa untuk menyatakan suatu konsep lain. Maka dengan demikian, dapat dikatakan melati digunakan sebagai perlambang kesucian, merah digunakan sebagai perlambang keberanian (dan dalam dunia politik digunakan sebagai lambang golongan komunis), dan srikandi digunakan sebagai perlambang kepahlawanan wanita.
6. Makna Idiomatikal dan Peribahasa
Idiom adalah satuan-satuan bahasa yang maknanya tidak dapat diramalkan dari makna leksikal unsur-unsurnya maupun makna gramatikal satuan-satuan tersebut. Umpamanya, menurut kaidah gramatikal kata-kata ketakutan, kesedihan, keberanian, dan kebimbangan memiliki makna hal yang disebut bentuk dasarnya. Makna idiom ini tidak lagi berkaitan dengan makna leksikal atau makna gramatikal unsur-unsurnya maka bentuk-bentuk idiom ini ada juga yang menyebutkan sebagai satuan-satuan leksikal tersendiri yang maknanya juga merupakan makna leksikal dari satuan tersebut. Jadi, menjual gigi adalah sebuah leksem dengan makna tertawa keras-keras, membanting tulang adalah sebuah leksem dengan makna bekerja keras, dan meja hijau adalah sebuah leksem dengan makna pengadilan. Perlu diketahui juga adanya dua macam bentuk idiom dalam bahasa Indonesia yaitu: idiom penuh dan idiom sebagian. Idiom penuh adalah idiom yang unsur-unsurnya secara keseluruhan sudah merupakan satu kesatuan dengan satu makna, seperti yang sudah kita lihat pada contoh membanting tulang, menjual gigi, dan meja hijau di atas. Sedangkan idiom sebagian masih ada unsur yang memiliki makna leksikalnya sendiri, misalnya daftar hitam yang berarti daftar yang berisi nama-nama orang yang dicurigai atau dianggap bersalah, koran kuning yang berarti koran yang sering memuat berita sensasi, dan menunjukkan gigi yang berarti menunjukkan kekuasaan. Kata daftar, koran, dan menunjukkan pada idiom-idiom tersebut masih memiliki makna leksikal, yaitu daftar, koran, dan menunjukkan yang bermakna idiomatikal hanyalah kata-kata hitam, kuning, dan gigi dari idiom-idiom tersebut. Berbeda dengan idiom, terutama idiom penuh, yang maknanya tidak dapat diramalkan, baik secara leksikal maupun gramatikal. Makna peribahasa masih dapat diramalkan karena adanya asosiasi atau tautan antara makna leksikal dan gramatikal unsur-unsur pembentuk peribahasa itu dengan makna lain yang menjadi tautannya. Umpamanya hal dua orang yang selalu bertengkar dikatakan dalam bentuk peribahasa “bagai anjing dengan kucing”. Kucing dan anjing di dalam sejarah kehidupan kita memang merupakan dua ekor binatang yang tidak pernah rukun. Entah apa sebabnya. Karena peribahasa ini bersifat memperbandingkan atau mengumpamakan maka lazim juga disebut dengan nama perumpamaan. Kata-kata seperti, bagai, bak, laksana, dan umpama lazim digunakan dalam peribahasa. Memang banyak juga peribahasa yang tanpa menggunakan kata-kata tersebut, namun kesan peribahasanya itu tetap saja tampak. Misalnya, Tong kosong nyaring bunyinya. Peribahasa tersebut bermakna orang yang tak berilmu biasanya banyak cakapnya. Di sini orang yang tiada berilmu itu diperbandingkan dengan tong yang kosong. Hanya tong yang kosong yang kalau dipukul akan berbunyi nyaring, tong yang berisi penuh tentunya tak akan berbunyi nyaring. Sebaliknya orang pandai, orang yang banyak ilmunya biasanya pendiam, merunduk dan tidak pongah. Keadaan ini disebutkan dengan peribahasa yang berbunyi bagai padi, semakin berisi, semakin merunduk.
7. Makna Kias
Dalam kehidupan sehari-hari dan juga dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S Poerwadarminta digunakan istilah arti kiasan. Tampaknya penggunaan istilah arti kiasan ini sebagai oposisi dari arti sebenarnya. Oleh karena itu, semua bentuk bahasa (baik kata, frase, maupun kalimat) yang tidak merujuk pada arti sebenarnya (arti leksikal, arti konseptual, atau arti denotatif) disebut mempunyai arti kiasan. Jadi, bentuk-bentuk seperti putri malam dalam arti bulan, raja siang dalam arti matahari, daki dunia dalam arti harta uang, membanting tulang dalam arti bekerja keras, kapal padang pasir dalam arti unta, pencakar langit dalam arti gedung bertingkat tinggi, dan kata bunga dalam kalimat Aminah adalah bunga di desa kami dalam arti gadis cantik, semuanya mempunyai arti kiasan.
8. Makna Lokusi, Ilokusi, dan Perlokusi Dalam kajian tindak tutur dikenal adanya makna ilokusi, makna ilokusi, dan makna perlokusi. Makna lokusi adalah makna seperti yang dinyatakan dalam ujaran, makna harfiah, atau makna apa adanya. Sedangkan yang dimaksud dengan makna ilokusi adalah makna seperti yang dipahami oleh pendengar. Sebaliknya, yang dimaksud dengan makna perlokusi adalah makna seperti yang diinginkan oleh penutur. Misalnya kalau seseorang kepada tukang afdruk foto dipinggir jalan bertanya, “bang, tiga kali empat berapa?” Makna secara lokusi kalimat tersebut adalah keinginan tahu dari si penutur tentang berapa tiga kali empat. Namun, makna perkolusi, makna yang diinginkan si penutur adalah bahwa si penutur ingin tahu berapa biaya mencetak foto ukuran tiga kali empat sentimeter. Kalau si pendengar, yaitu tukang afdruk foto itu memiliki makna ilokusi yang sama dengan makna perlokusi dari si penanya, tentu dia akan menjawab, misalnya “dua ribu” atau “tiga ribu”. Tetapi kalau makna ilokusinya sama dengan makna lokusi dari ujaran “tiga kali empat berapa”, dia pasti akan menjawab “dua belas”, bukan jawaban lain.
E. Medan Makna
Medan makna (semantic domain, semantik field) atau sering kita sebut medan leksikal adalah seperangkat unsur leksikal yang maknanya saling berhubungan karena menggambarkan bagian bidang kebudayaan atau realitas dalam alam semesta tertentu. Misalnya: nama-nama warna, nam-nama perabot rumah tangga, atau nama-nama perkerabatan yang masing-masing merupakan satu medan makna. Banyaknya unsur leksikal dalam satu medan makna antara bahasa satu dengan bahasa lain tidak sama besarnya. Karena hal tersebut berkaian erat dengan sistem budaya masyarakat pemilik bahasa itu. Jumlah nama atau istilah perkerabatan juga idak sama banyaknya antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lain. Seperti contohnya jika medan makna melihat dari kesamaan ciri semantik dlam satu kelompok warna dalam bahasa indonesia mengenal nama merah, coklat, biru, hijau, kuning, hitam. Untuk menyatakan nuansa warna yang berbeda, bahasa indonesia memberi keterangan perbandingan seperti merah darah, meah jambu, merah bata. Dalam bahasa inggris mengenal 11 warna dasar yakni: white, red, green, yellow, blue, brown, purple, pink, orange, dan grey. Dalam bahasa arab ada kata , ألوانterbagi menjadi beberapa macam yakni:
زرق, أصفر, أبيض, أسود أ أسود, أحمر,
Pengelompokan kata-kata berdasarkan medan magnetnya sangat tergantung pada kinsep budaya masing-masing masyarakat pemakai bahasa itu.Didalam buku Thesaurus of english word and phrases classified and arranged so as to facilitate the expression of ideas and assist n literacy composition oleh peter mark roget (1779- 1868) terdaftar 1042 kelompok medan makna yang seluruhnya terdiri dari 250.000 kaa dan frase. Namun, dalam studi medan makna ini, seperti yang dilakukan Nida (1974 dan 1975 kata-kata biasanya dibagi atas 4 kelompok yaitu: kelompok bendaan, kelompok kejadian/ peristiwa, kelompok abstrak, dan kelompok relasi. Namun pada dasarnya kata-kata atau leksem-leksem yang mengelompok dalam satu medan makna, berdasarkan sifat hubungan semantiknya dapat dibedakan atas kelompok medan kolokasi dan medan set. Secara umum medan makna merupakansalah satu metode untuk menganalisa makna yang terdapat pada kata atau unsur leksikal.
1. Medan kolokasi
Yaitu medan yang menunjukan pada hubungan sintagmantiknya yang terdapat antara unsur-unsur leksikal itu. Kolokasi berasal dari bahsa latin colloco ysng bersrti sds ditempat yang sama
Contoh:
Dalam bahasa indonesia:
- Tiang layar perahu nelayan itu patah dihantam badai, lalu perahu itu digulung ombak dan tenggelam beserta segala isinya.
Dari contoh diatas kita dapati kata-kata layar, perahu, nelayan, ombak, dan tenggelam yang merupakan kata-kata dalam satu kolokasi, satu tempat, dan satu lingkungan yang sama. Dalam hal ini lingkungan yang dimaksud adalah lingungan kelautan.
- Kata cabe, bawang, terasi, garam, merica, dan lada juga berada dalam satu kolokasi yakni bumbu dapur.
Dalam bahasa arab contohnya:
- يسمع – أذن tidak mungkin يسمع – عين
- يرى – عين
2. Medan set
Yaitu medan yang menunjukan pada hubungan paradigmatik, karena kata-kata yang berada dalam satu kelompok set itu saling bisa disubstitusikan. Sekelompok kata yang merupakan satu set biasanya mempunyai kelas yang sama dan juga merupakan satu kesatuan. Setiap kata dalam set dibatasi oleh tempatnya dalam hubungan anggota-anggota lain dalam set itu.
Contoh:
Dalam bahasa arab:
- يذهب أحمد إلى المدرسة (الجامعة / سورابايا / الميدان)
Dlam contoh diatas dapat kita pahami bahwa dalam kata يذهب – المدرسة – الجامعة - سورابايا - الميدان berada dalam satu medan makna yang memiliki hubungan makna dan tidak terikat. Kata يذهب bisa saja berpasangan dengan سورابايا atau المدرسة ataupun الميدان.
3. KOMPONEN MAKNA
Pada dasarnya setiap kata (leksem) tentu mempunyai makna. Makna yang dimiliki oleh setiap kata itu terdiri dari sejumlah komponen yang disebut dengan komponen makna. Komponen makna ini dapat dianalisis. Contohnya dlam hal ini adlah sebagai berikut:
- Kata “ayah” dan ibu memiliki komponen makna seperti bagan dibawah ini:
Komponen makna Ayah Ibu
Manusia + +
Dewasa + +
Jantan + _
Kawin + +
Punya anak + +
Dari bagan komponen diatas maka dapat diketahui bahwa makna dari ayah dan ibu berbeda. Dan beda dari ayah dan ibu hanalah pada komponen makna “jantan” ayah memiliki komponen jantan sedangkan ibu tidak.
- Kalimat “tumpukan pakaian itu dari jauh nampak seperti orang” dengan “ tumpukan pakaian itu dari jauh nampak seperti manusia”.
Makhluk Bernyawa Berakal budi
Orang + + +
Manusia + + +
Kalimat “tumpukan pakaian itu dari jauh nampak seperti orang” dengan “ tumpukan pakaian itu dari jauh nampak seperti manusia” hal tersebut dapat dilihat melalui analisis komponen.
Beberapa kesulitan menganalisis komponen makna:
- Kata yang didengar atau yang dibaca tidak diikuti dengan unsur suprasegmental atau juga unsur ekstra linguistik..
- Tiap kata berbeda maknanya jika dilihat dari segi disipli ilmu.
- Setiap kata memiliki pemakaian yang berbeda, terutama untuk kata-kata yang mempunyai hubungan renggang.
- Kata-kata yang acuannya abstrak.
- Kata-kata yang tegolong diksi.
- Kata-kata yang bersifat umum.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kata semantik dalam bahasa Indonesia (Inggris: Semantics) berasal dari bahasa Yunani sema ( kata benda yang berarti “tanda” atau “lambang”). Kata kerjanya adalah semanio yang berarti “menandai” atau “melambangkan”. Yang dimaksud dengan tanda atau lambang di sini sebagai padanan kata sema itu adalah tanda linguistik (Prancis: signe linguistique) seperti yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure (1966), yaitu terdiri dari (1) komponen yang mengartikan, yang berwujud bentuk-bentuk bunyi bahasa dan (2) komponen yang diartikan atau makna dari komponen yang pertama itu. Kedua komponen ini adalah merupakan tanda atau lambang, sedangkan yang ditandai atau dilambanginya adalah sesuatu yang berada di luar bahasa yang lazim disebut referen atau hal yang ditunjuk. Kata semantik sebenarnya merupakan istilah teknis yang mengacu pada studi tentang makna. Istilah semantik dibagi subdisiplin linguistik muncul pada abad ke- 19. Yakni pada tahun 1825 seorang pakar klasik yang bernama C. Reisig mengemukakan pendapatnya tentang tata bahasa yang terbagi menjadi 3 bagian: etimologi, sintaksis, dan semasiologi (ilmu makna). Kemudian dilanjutkan dan diperkenalkan oleh M. Breal yakni berpadanan kata semantique dalam bahasa perancis yang diserap dari bahasa yunani. Ruang lingkup semantik mencakup bidang yang sangat luas, baik dari segi struktur dan fungsi bahasa maupun dari segi interdisiplin bidang ilmu. Namun dalam hal ini ruang lingkup semantik terbatas pada hubungan ilmu makna itu sendiri dibidang linguistik. Meskipun faktor non linguistik ikut mempengaruhi sebagai fungsi bahasa non simbolik (emotif dan afektif). Semantik adalah studi suatu pembeda bahasa dengan hubungan proses mental atau simbolisme dalam aktivitas bicara. (ency Vritanica, 1965). Makna adalah pertautan yang ada diantara unsur-unsur bahasa itu sendiri.makna menurut palmer hanya menyangkut intra bahasa. Sejalan dengan pendapat tersebut Lycons menyebutkan bahwa mengkaji atau memberikan makna suatu kata ialah memahami kajian kata tersebut berbeda dari kata-kata yang lain. Arti dalam hal ini menyangkut makna leksikal yang cenderung terdapat didalam kamus sebagai leksikon. Kajian makna bahasa meliputi:
• Kajian makna Leksikal dan makna gramatikal
• Kajian makna referensial dan non referensial
• Makna denotatif dan konotatif
• Makna kata dan makna istilah
• Makna Konseptual dan Makna Asosiatif
• Kajian Idiomatikal dan peribahasa
• Makna Kias
• Makna Lokusi, Ilokusi, dan Perlokusi
Medan makna (semantic domain, semantik field) atau sering kita sebut medan leksikal adalah seperangkat unsur leksikal yang maknanya saling berhubungan karena menggambarkan bagian bidang kebudayaan atau realitas dalam alam semesta tertentu. Misalnya: nama-nama warna, nam-nama perabot rumah tangga, atau nama-nama perkerabatan yang masing-masing merupakan satu medan makna. Banyaknya unsur leksikal dalam satu medan makna antara bahasa satu dengan bahasa lain tidak sama besarnya. Karena hal tersebut berkaian erat dengan sistem budaya masyarakat pemilik bahasa itu. Jumlah nama atau istilah perkerabatan juga idak sama banyaknya antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lain. Seperti contohnya jika medan makna melihat dari kesamaan ciri semantik dlam satu kelompok warna dalam bahasa indonesia mengenal nama merah, coklat, biru, hijau, kuning, hitam. Untuk menyatakan nuansa warna yang berbeda, bahasa indonesia memberi keterangan perbandingan seperti merah darah, meah jambu, merah bata.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di abad yang modern sekarang ini, orang banyak berminat pada kajian tentang ilmu bahasa (linguistik) semakin banyak. Karena bidang linguistik merupakan bidang yang khusus mengkaji segala aspek berkenaaan dengan kebahasaan. Yang mana didalam bidang linguistik terdapat pula kajian ilmu semantik (ilmu tentang makna). Pemahaman akan hakikat semantik membantu kita dalam memahami seluk beluk makna dalam bahasa. Sebagai salah satu bidang kajian dalam bidang linguistik, semantik menjadi syarat dalam memahami bahasa lebih lanjut. Persoalan makna merupakan persoalan yang menarik dalam kehidupan sehari-hari. Reklame yang dipasang terdapat tulisan “lezzzat” pada mulanya penulis tidak memahami apayang dimaksud oleh pemasang iklan, lama-lama penulis mengerti juga, oh yang dimaksud adalah lezat, enak, sedap. Ketidakmengertian itu muncul karena penulisan yang tampak seandainya ditulis “lezat” maka akan mudah dipahami. Makna merupakan istilah yang paling ambigu dan paling kontroversial dalam teori tentang bahasa. Dalam The Meaning Of Meaning, ogden dan Richards mengumpulkan tidak kurang dari 16 definisi yang berbeda bahkan menjadi 23 jika bagian dipisahkan. Sejak itu, banyak penggunaan baru, implisit atau eksplisit. Dan dimata sejumlah pakar istilah itu telah menjadi tidak dapat dipakai lagi bagi tujuan-tujuan ilmiah. Untuk mengetahui secara mendalam apa yang dimaksudkan dalam istilah makna, perlu ditelusuri melalui disiplin ilmu yang disebu dengan semantik. Dalam semantik dapat diketahui, apakah yang dimaksud dengan makna, bagaimanakan wujud makna, apakah jenis- jenis makna, dan lain sebagainya. sehingga beragkat dari pernyataan diatas penulis dalam makalah ini membahasa hal-hal yang berkaiatan dengan ilmu semantik dan pembahasannya berdasarkan rujukan dari buku-buku yang terkait dengan pembahasan ilmu semantik ini.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Ilmu Semantik?
2. Apa Ruang Lingkup Semantik?
3. Apa Pengertian Dari Makna?
4. Apa Kajian Makna dan Konsep Tentang Makna?
5. Apa medan makna dan komponennya?
C. Tujuan
Adapun tujuan kami dalam penulisan makalah ini yaitu : untuk menambah wawasan penulis dan pembaca tentang apa yang dimaksud ilmu semantik (ilmu tentang makna) dan hal-hal yang berkaitan dengan ilmu semantik.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Semantik Dan Sejarahnya
Kata semantik dalam bahasa Indonesia (Inggris: Semantics) berasal dari bahasa Yunani sema ( kata benda yang berarti “tanda” atau “lambang”). Kata kerjanya adalah semanio yang berarti “menandai” atau “melambangkan”. Yang dimaksud dengan tanda atau lambang di sini sebagai padanan kata sema itu adalah tanda linguistik (Prancis: signe linguistique) seperti yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure (1966), yaitu terdiri dari (1) komponen yang mengartikan, yang berwujud bentuk-bentuk bunyi bahasa dan (2) komponen yang diartikan atau makna dari komponen yang pertama itu. Kedua komponen ini adalah merupakan tanda atau lambang, sedangkan yang ditandai atau dilambanginya adalah sesuatu yang berada di luar bahasa yang lazim disebut referen atau hal yang ditunjuk. Kata semantik ini kemudian disepakati sebagai istilah yang digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya atau dengan kata lain, bidang studi dalam linguistik yang mempelajari makna atau arti dalam bahasa. Oleh karena itu, kata semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu salah satu dari tiga tataran analisis: fonologi, gramatika, dan semantik. Kata semantik sebenarnya merupakan istilah teknis yang mengacu pada studi tentang makna. Istilah semantik dibagi subdisiplin linguistik muncul pada abad ke- 19. Yakni pada tahun 1825 seorang pakar klasik yang bernama C. Reisig mengemukakan pendapatnya tentang tata bahasa yang terbagi menjadi 3 bagian: etimologi, sintaksis, dan semasiologi (ilmu makna). Kemudian dilanjutkan dan diperkenalkan oleh M. Breal yakni berpadanan kata semantique dalam bahasa perancis yang diserap dari bahasa yunani. Kemudian pada periode berikutnya ferdinan de saussure. Pandangan saussure menjadi pandangan strukturalisme, yakni menurutnya bahasa merupakan suatu sistem yang terdiri atas unsur-unsur yang saling berhubungan satu sama lain dan merupakan satu kesatuan. Pandangan ini yang kemudian dijadikan sebagai titik tolak penelitian yang sangat kuat dan mempengaruhi bidang penelitan. Setelah itu, Istilah semantik baru muncul dan diperkenalkan melalui suatu organisasi filologi di Amerika Serikat pada tahun 1894 yang judulnya reflected meaning a point in semantics. Sedangkan di indonesia semantik muncul dan cenderung berkembang pada Tahun 1980-an yang ditandai dengan munculnya artikel ayau buku- buku semantik.
B. Ruang Lingkup Pembahasan Semantik
Seperti yang telah dinyatakan sebelumnya, bahwa semantik dapat mencakup bidang yang lebih luas, baik dari struktur dan fungsi bahasa maupun dari interdisiplin bidang ilmu. Akan tetapi, dalam hal ini ruang lingkup semantik berkisar pada hubungan ilmu makna itu sendiri di dalam linguistic, meskipun faktor nonlinguistik ikut mempengaruhi sebagi fungsi bahasa yang nonsimbolik (emotif dan afektif). Semantik adalah studi suatu pembeda bahasa dengan hubungan proses mental atau simbolisme dalam aktivitas bicara. Ruang lingkup semantik mencakup bidang yang sangat luas, baik dari segi struktur dan fungsi bahasa maupun dari segi interdisiplin bidang ilmu. Namun dalam hal ini ruang lingkup semantik terbatas pada hubungan ilmu makna itu sendiri dibidang linguistik. Meskipun faktor non linguistik ikut mempengaruhi sebagai fungsi bahasa non simbolik (emotif dan afektif). Semantik adalah studi suatu pembeda bahasa dengan hubungan proses mental atau simbolisme dalam aktivitas bicara. (ency Vritanica, 1965). Hubungan antara bahasa dan proses mental dapat dinyatakan dengan beberapa cara. Ada yang menyatakan bahwa proses mental tidak perlu dipelajari karena membingungkan. Ada pula yang menyatakan harus dipelajari secara terpisah dari semantik atau bahasa harus dipelajari secara terpisah, lepas dari semantik tanpa menyinggung proses mental. Tanpa menyinggung hal tersebut kita dapat mengerti sesuatu yang terjadi melalui bahasa. Pendapat tersebut kita jumpai pada aliran behaviorisme yang dipelopori Skinner. Pandangan Sommefelt sama halnya dengan pendapat Skinner bahwa bahasa merupakan hal yang prinsip dalam kehidupan manusia. Bahasa adalah suatu sistem yang harus dipelajari seseorang dari orang lain yang menjadi anggota masyarakat penutur bahasa tersebut. Argumentasi tersebut menyatakan bahwa objek semantik adalah makna. Makna dapat dianalisis melalui struktur dalam pemahaman tataran bahasa (fonologi, morfologi, dan sintaksis). Tataran fonologi dalam hal ini fonem dapat membedakan makna di dalam minimal pair (pasangan minimal) dan fonestem (fonem yang memiliki makna, tetapi tidak melebihi morfem). Makna dapat diteliti melalui fungsi, dalam pemahaman fungsi hubungan antarunsur. Dengan denikian kita mengenal makna leksikal dan makna gramatikal, demikian pula ada makna kata, frase, klausa, kalimat, dan wacana sehingga ruang lingkup semantik dapat menjangkau semua tataran bahasa, fonologi, morfologi, sintaksis, dan wacana, bahkan teks. Unsur- unsur semantik adalah adanya tanda dan lambang. Teori tanda dikembangkan oleh Perre pada abad ke- 18 yang dipertegas dengan munculnya buku The meaning of meaning, karangan Ogden dan Richard pada tahun 1923 dalam perkembangannya, teori tanda dikenal dengan semiotik, yang dibagi dalam 3 cabang yaitu:
• Semantik; berhubungan dengan tanda-tanda;
• Sintaktik, berhubungan dengan gabungan dengan tanda-tanda (susunan tanda-tanda)
• Pragmatik berhubungan dengan asal usul, pemakaian, dan akibat pemakaian tanda-tanda didalam tingkah laku berbahasa.
C. Pengertian Makna
Pengertian makna (sense-bahasa Inggris) dibedakan dari arti (meaning-bahasa Inggris) di dalam semantik. Makna adalah pertautan yang ada di antara unsur-unsur bahasa itu sendiri (terutama kata-kata). Makna, menurut Palmer, hanya menyangkut intrabahasa. Sejalan dengan pendapat tersebut, Lyos menyebutkan bahwa mengkaji atau memberikan makna suatu kata ialah memahami kajian kata tersebut yang berkenaan dengan hubungan-hubungan makna yang membuat kata tersebut berbeda dari kata-kata lain. Arti dalam hal ini menyangkut makna leksikal dari kata-kata itu sendiri, yang cenderung terdapat di dalam kamus, sebagai leksem. Makna adalah pertautan yang ada diantara unsur-unsur bahasa itu sendiri.makna menurut palmer hanya menyangkut intra bahasa. Sejalan dengan pendapat tersebut Lycons menyebutkan bahwa mengkaji atau memberikan makna suatu kata ialah memahami kajian kata tersebut berbeda dari kata-kata yang lain. Arti dalam hal ini menyangkut makna leksikal yang cenderung terdapat didalam kamus sebagai leksikon. Ada 3 hal yang dijelaskan oleh para filosuf sehubungan dengan usaha menjelaskan istilah makna. Yang pertama, menjelaskan makna kata secara alamiah, yang kedua mendeskripsikan kalimat secara alamiah dan yang ketiga menjelaskan makna dalam proses komunikasi. Dalam hubungan ini Kempson berpendapat bahwa dalam menjelaskan istilah makna harus dilihat dari segi (i) kata (ii) kalimat (iii) apa yang dibutuhkan oleh pembicara untuk berkomunikasi.
Makna sebagai penghubung bahasa dengan dunia luar sesuai dengan kesepakatan para pemakainya sehingga dapat saling mengerti. Makna memiliki tiga tingkat keberadaan, yakni:
(1) Pada tingkat pertama makna menjadi isi dari suatu bentuk kebahasaan
(2) Pada tingkat kedua makna menjadi isi dari suatu kebahasaan
(3) Pada tingkat ketiga, makna menjadi isi komunikasi yang mampu membuahkan.
Pada tingkat pertama dan kedua dilihat dari segi hubungannya dengan penutur, sedangkan yang ketiga lebih ditekankan pada makna di dalam komunikasi. Sehubungan dengan tiga tingkat keberadaan makna, Samsuri mengungkapkan adanya garis hubungan antara makna, ungkapan, dan makna. Kajian makna bahasa meliputi:
• Kajian makna Leksikal
• Kajian makna gramatikal
• Kajian makna kontekstual
• Kajian diakronik bahasa
• Kajian makna referensial dan non referensial
• Kajian makna denotatif
• Kajian makna konotatif
• Kajian makna asosiatif
• Kajian makna idiom dan peribahasa
D. Jenis Makna
1. Makna leksikal dan makna gramatikal
Makna leksikal adalah makna leksem, makna butir leksikal atau makna yang secara inheren ada di dalam butir leksikal itu. Leksikal merupakan bentuk adjektif yang diturunkan dari bentuk nomina leksikol (vokabuler , kosa kata,perbendaharaan kata) satuan dari leksikon adalah leksem, yaitu satuan bentuk bahasa yang bermakna. Kalau leksikon kita samakan dengan kosa kata atau perbendaharaan kata, maka leksem dapat kita samakan dengan kata. Dengan demikian leksem diartikan sebagai makna yang bersifat leksikon, bersifat leksem, atauu bersifat kata. Lalu, karena itu dapat pula dikatakan makna leksikal adalah makna yang sesuai dengan referennya, akan yang sesuai dengan observasi alat indra, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita. Umpamanya kata tikus makna leksikalnya adalah sebngsa bintag pengerat yang dapat menyebabkan timbulnya penyait tifus. makna ini tampak jelas dalam kalimat tikus itu mati di terkam kucing, atau dalam kalimat panen kali ini gagal akibat serangan hama tikus. Kata tikus pada kalimat kedua kalimat itu jelas merujuk kepada binatang tikus, bukan kepada yang lain. Tetapi dalam kalimat yang menjadi tikus di gudang kami ternyata berkepala hitam bukanlah dalam makna leksikal karena tidak merujuk kepada binatang tikus melainkan kepala seorang manusia, yaitu perbuatannya memang mirip dengan perbuatan tikus. Contoh lain, kata kepal dalam kalimat kepalanya hancur kena pecahan granat adalah dalam makna leksikal, tetapi dalam kalimat Raporny dithan kepala sekolah karena ia belum membayar uang SPP adlah ukan bermaka leksikal. Kata memtik dalam kalimat ibu memetik sekuntum bunga mawar adalah bermakn leksikal, sedangkan dalam kalimat kia dapat memetik manfaat dari cerita itu adalah bukan bermakna leksikal. Kalau disimak contoh-contoh di atas dapat disimpulkn bahwa makna leksikal dari suatu kat adalah gambaran yang nyata tentang suatu konsep, seperti yang dilambangkan kata itu. Kata leksikal suatu kat sudah jelas bagi seorang bahasawan tanpa kehadiran kat itu dalam suatu konteks kalimat. Berbeda dengan makna yang bukan makna leksikal, yang baru jels apabila berada dalam konteks kalimat atau satuan sintaksis lain. Dalam beberapa buku pelajaran, bahasa sering dikatakan bahwa makna leksikal adalah seperti yang terdapat dalam kamus. Pernyataan ini tidak seratus persen benar. Kalau kamusnya adalah kamus kecil atau sebuah kamus dasar maka pernyataan itu benar. Kalau kamusnya bukan kamus dasar melainkan kamus umum atau kamus besar maka pernyataan itu tidak benar. sebab, dalam kamus itu didaftarkan juga makna-makna idiom atau kiasan. Makna leksikal biasanya dipertentangkan atau dioosisikan dengan maka gramatikal. Kalau makna leksikal itu berkenaan dengan makna leksem atau kata yang sesuai dengan referennya maka makna gramatikal ini adalah makna yang hadir sebagai akibatadanya proses gramatia seperti proses afikasi, proses reduplikasi, dan proses komposisi. Proses afiksasi awalan ter-pada kata angkat dalam kalimat Batu seberat itu terangkat juga ole adik melahirkan makna’dapat’ dan dalam kalimat ketika balok itu ditarik, papan itu terangkat ke atas melahirkan makna gramatikal’ tidak sengaja’. Sebenarnya awalan ter-, atau juga imbuhan-imbuhan lain, tidak mempunyai makna sebuah imbuhan, seperti awalan ter- di atas, baru memiliki makna atau kemungkinkan makna apabila sudah berproses dengan kata lain. seperti conto kata terangkat di atas yang memiliki kemungkinan makna (1) dapat, atau (2) tidak sengaja. sedangkan kepastian maknanya baru diperoleh setelah berada dalam konteks kalimat atau satuan sintaksis lain, seperti makna ‘dapat’ di dalam kalimat Batu seberat itu terangkat juga oleh adik, dan makna tidak sengaja dalam kalimat ‘ketika balok itu ditarik , papan itu terangkat ke atas. Oleh karrena itu makna sebuah kata, baik kata dasar maupun kata jadian, sering sangat tergantung pada konteks kalimat atau konteks situasi. maka, makna gramatikal ini sering juga disebut makna kontekstual atau makna situasional. Selain itu bisa juga disebut makna struktural karena proses dan satuan-satuan gramatika itu selalu berkenaan dengan struktur ketatabahasaan. Makna gramatikal itu bermacam-macam. setiap bahsa mempunyai sarana atau alat gramatika tertentu untuk menyatakan makna-makna, atau nuansa-nuansa makna gramatikal itu. Untuk menyatakan makna ‘jamak’ bahasa indonesia menggunakan proses reduplikasi seperti kata buku yang bermakna ‘sebuah buku’ menjadi buku-buku yang bermakna ‘banyak buku’ bahasa inggris untuk menyatakan ‘jamak’ menggunakan penambahan morfem atau menggunakan bentuk khusus. Penyimpangan makna dan bentuk-bentuk gramatikal yang sama lazim juga terjadi dalam berbagai bahasa. Dalam bahasa Indonesia, misalnya bentuk-bentuk kesedihan, ketakutan, kegembiraa dan kesenangan memiliki makna gramatikal yang sama, yaitu hal yang disebut kata dasarnya. Tetapi bentuk atau kata kemaluan yang bentuk gramatiknya sama dengan deretan kata di atas, memiliki makna yang lain. Contoh lain, kata menyedihkan, menakutkan, dan mengalahkan memiliki makna gramatika yang sama yaitu membuat jadi yang disebut kata dasarnya. Tetapi kta memenagkan, dan menggalakan yang dibentuk dari kelas kata dan imbuhan yang sama dengan ketiga kata tersebut; sebab bukan bermakna membuat jadi menang dan membuat jadi galak melainkan bermakna’ memperoleh kemenangan ‘ dan ‘menggiatkan. Makna gramatikal acapkali juga dapat diketahui tanpa mengenal makna leksikal dan unsur-unsurnya.
2. Makna Referensial dan Nonreferensial
Makna referensial adalah makna yang berhubungan langsung dengan kenyataan atau referent (acuan), makna referensial disebut juga makna kognitif, karena memiliki acuan. Perbedaan makna referensial dan makna Nonreferensial berdasarkan ada tidak adanya referen dari kata-kata itu. Bila kata-kata itu mempunyai referen, yaitu sesuatu diluar bahasa yang diacu oleh kata itu maka kata tersebut disebut kata bermakna referensial, Kalau kata-kata itu tidak mempunyai referen maka kata itu disebut kata bermakna Nonreferensial. Kata meja dan kursi termasuk kata yang bermakna referensial karena keduanya mempunyai referen yaitu sejenis perabot rumah tangga yang disebut “meja” dan “kursi” sebaliknya kata karena dan tetapi tidak mempunyai referen. Jadi, kata karena dan tetapi termasuk kata yang bermakna nonreferensial. Dapat disimak bahwa kata-kata yang termasuk kategori kata penuh, seperti sudah disebutkan di muka, adalah termasuk kata-kata yang bermakna referensial dan yang termasuk kelas kata tugas seperti preposisi dan kongjungsi, adalah kata-kata yang termasuk kata bermakna nonreferensial. Karena kata-kata yang termasuk preposisi dan kongjungsi tidak mempunyai referen maka banyak orang menyatakan kata-kata tersebut tidak memiliki makna. Kata-kata tersebut hanya memiliki fungsi atau tugas maka dinamailah kata-kata tersebut dengan nama kata fungsi atau kata tugas. Sebenarnya kata-kata ini juga mempunyai makna, hanya tidak mempunyai referen. Hal ini jelas dari nama yang diberikan semantik, yaitu kata yang bermakna nonreferensial. Mempunyai makna, tetapi tidak memiliki referen.
3. Makna Denotatif dan Konotatif
Denotasi mengacu kepada makna leksis yang umum dipakai atau singkatnya makna yang biasa, objektif, belum dibayangi perasaan, nilai, dan rasa tertentu. Dikatakan objektif sebab makna denotasi ini berlaku umum. Sebaliknya, makna konotasi bersifat subjektif dalam pengertian bahwa ada pergeseran dari makna umum karena sudah ada penambahan rasa dan nilai tertentu. Sebuah kata disebut mempunyai makna konotatif apabila kata itu mempunyai “nilai rasa”, baik positif maupun negative. Jika tidak memiliki nilai rasa maka dikatakan tidak memiliki konotasi. Tetapi dapat juga disebut berkonotasi netral. Makna denotatif pada dasarnya sama dengan makna referensial sebab makna denotatif ini lazim diberi penjelasan sebagai makna yang sesuai dengan hasil observasimenurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau pengalaman lainnya. Jadi makna denotatif ini menyangkut informasi-informasi factual objektif. Lalu karena itu makna denotasi sering disebut sebagai “makna sebenarnya” umpamanya kata perempuan dan wanita, kedua kata ini mempunyai makna denotasi yang sama yaitu manusia dewasa bukan laki-laki. Begitu juga kata gadis dan perawan, kata istri dan bini. Kata gadis dan perawan memiliki makna denotasi yang sama yaitu wanita yang belum bersuami atau belum pernah bersetubuh, sedangkan kata istri dan bini memiliki makna denotasi yang sama, yaitu wanita yang mempunyai suami. Dalam beberapa buku pelajaran, makna denotasi sering juga disebut makna dasar, makna asli, atau makna pusat. Sedangkan makna konotasi disebut sebagai makna tambahan. Penggunaan makna dasar, makna asli, atau makna pusat untuk menyebut makna denotasi rasanya tidak menjadi persoalan, tetapi penggunaan makna tambahan untuk menyebut makna konotasi kiranya perlu dikoreksi, yakni hanya tambahan yang sifatnya memberi nilai rasa, baik positif maupun negative. Atau jika tidak bernilai rasa dapat juga disebut berkonotasi netral. Makna konotasi sebuah kata dapat berbeda dari satu kelompok masyarakat yang satu dengan yang lain, sesuai dengan pandangan hidup dan norma-norma penilaian kelompok masyarakat tersebut. Umpamanya babi, di daerah-daerah yang penduduknya mayoritas beragama Islam, memiliki konotasi negatif karena binatang tersebut menurut hukum Islam adalah haram dan najis. Sebaliknya di daerah-daerah yang penduduknya mayoritas bukan Islam seperti di pulau Bali atau pedalaman Irian Jaya, kata babi tidak berkonotasi negatif. Kata laki dan bini dalam masyarakat Melayu Jakarta tidak berkonotasi negatif, tetapi dalam masyarakat intelek Indonesia dianggap berkonotasi negatif.
4. Makna Kata dan Makna Istilah
Pembedaan adanya makna kata dan makna istilah berdasarkan ketepatan makna kata itu dalam penggunaannya secara umum dan secara khusus. Makna sebuah kata, walaupun secara sinkronis tidak berubah, tetapi karena berbagai faktor dalam kehidupan, dapat menjadi bersifat umum. Makna kata itu baru menjadi jelas kalau sudah digunakan di dalam suatu kalimat. Kalau lepas dari konteks kalimat, makna kata itu menjadi umum dan kabur. Misalnya kata tahanan. Mungkin saja yang dimaksud dengan tahanan itu adalah orang yang ditahan, tetapi bisa juga hasil perbuatan menahan, atau mungkin makna yang lainnya lagi. Begitu juga kata air. Apa yang dimaksud dengan kata air itu? apakah air yang berada di sumur? di gelas? atau di bak mandi? atau yang turun dari langit? Kemungkinan-kemunginan itu bisa saja terjadi karena kata air itu lepas dari konteks kalimatnya. Berbeda dengan kata yang maknanya masih bersifat umum, maka istilah memiliki makna yang tetap dan pasti. Ketepatan dan kepastian makna istilah itu karena istilah itu hanya digunakan dalam bidang kegiatan atau keilmuan tertentu. Jadi, tanpa konteks kalimatnya pun makna istilah itu sudah pasti. Misalnya, kata tahanan di atas. Sebagai kata, makna kata tahanan masih bersifat umum, tetapi sebagai istilah misalnya istilah dalam bidang hukum makna tahanan itu sudah pasti, yaitu orang yang ditahan sehubungan dengan suatu perkara. Makna kata sebagai istilah memang dibuat setepat mungkin untuk menghindari kesalahpahaman dalam bidang ilmu atau kegiatan tertentu. Dalam bidang kedokteran, misalnya kata tangan dan lengan digunakan sebagai istilah untuk pengertian yang berbeda. Tangan adalah dari pergelangan sampai ke panggul bahu. Sebaliknya dalam bahasa umum lengan dan tangan dianggap bersinonim, sama maknanya.
5. Makna Konseptual dan Makna Asosiatif
Makna konseptual adalah makna yang sesuai dengan konsepnya, makna yang sesuai dengan referennya dan makna yang bebas dari asosiasi atau hubungan apapun. Jadi, sebenarnya makna konseptual ini sama dengan makna referensial, makna leksikal, dan makna denotative. Sedangkan makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan keadaan di luar bahasa. Misalnya, kata melati berasosiasi dengan makna suci atau kesucian, kata merah berasosiasi dengan makna berani atau juga dengan golongan komunis, kata cendrawasih berasosiasi dengan makna indah. Makna asosiatif ini sesungguhnya sama dengan perlambang-perlambang yang digunakan oleh suatu masyarakat bahasa untuk menyatakan suatu konsep lain. Maka dengan demikian, dapat dikatakan melati digunakan sebagai perlambang kesucian, merah digunakan sebagai perlambang keberanian (dan dalam dunia politik digunakan sebagai lambang golongan komunis), dan srikandi digunakan sebagai perlambang kepahlawanan wanita.
6. Makna Idiomatikal dan Peribahasa
Idiom adalah satuan-satuan bahasa yang maknanya tidak dapat diramalkan dari makna leksikal unsur-unsurnya maupun makna gramatikal satuan-satuan tersebut. Umpamanya, menurut kaidah gramatikal kata-kata ketakutan, kesedihan, keberanian, dan kebimbangan memiliki makna hal yang disebut bentuk dasarnya. Makna idiom ini tidak lagi berkaitan dengan makna leksikal atau makna gramatikal unsur-unsurnya maka bentuk-bentuk idiom ini ada juga yang menyebutkan sebagai satuan-satuan leksikal tersendiri yang maknanya juga merupakan makna leksikal dari satuan tersebut. Jadi, menjual gigi adalah sebuah leksem dengan makna tertawa keras-keras, membanting tulang adalah sebuah leksem dengan makna bekerja keras, dan meja hijau adalah sebuah leksem dengan makna pengadilan. Perlu diketahui juga adanya dua macam bentuk idiom dalam bahasa Indonesia yaitu: idiom penuh dan idiom sebagian. Idiom penuh adalah idiom yang unsur-unsurnya secara keseluruhan sudah merupakan satu kesatuan dengan satu makna, seperti yang sudah kita lihat pada contoh membanting tulang, menjual gigi, dan meja hijau di atas. Sedangkan idiom sebagian masih ada unsur yang memiliki makna leksikalnya sendiri, misalnya daftar hitam yang berarti daftar yang berisi nama-nama orang yang dicurigai atau dianggap bersalah, koran kuning yang berarti koran yang sering memuat berita sensasi, dan menunjukkan gigi yang berarti menunjukkan kekuasaan. Kata daftar, koran, dan menunjukkan pada idiom-idiom tersebut masih memiliki makna leksikal, yaitu daftar, koran, dan menunjukkan yang bermakna idiomatikal hanyalah kata-kata hitam, kuning, dan gigi dari idiom-idiom tersebut. Berbeda dengan idiom, terutama idiom penuh, yang maknanya tidak dapat diramalkan, baik secara leksikal maupun gramatikal. Makna peribahasa masih dapat diramalkan karena adanya asosiasi atau tautan antara makna leksikal dan gramatikal unsur-unsur pembentuk peribahasa itu dengan makna lain yang menjadi tautannya. Umpamanya hal dua orang yang selalu bertengkar dikatakan dalam bentuk peribahasa “bagai anjing dengan kucing”. Kucing dan anjing di dalam sejarah kehidupan kita memang merupakan dua ekor binatang yang tidak pernah rukun. Entah apa sebabnya. Karena peribahasa ini bersifat memperbandingkan atau mengumpamakan maka lazim juga disebut dengan nama perumpamaan. Kata-kata seperti, bagai, bak, laksana, dan umpama lazim digunakan dalam peribahasa. Memang banyak juga peribahasa yang tanpa menggunakan kata-kata tersebut, namun kesan peribahasanya itu tetap saja tampak. Misalnya, Tong kosong nyaring bunyinya. Peribahasa tersebut bermakna orang yang tak berilmu biasanya banyak cakapnya. Di sini orang yang tiada berilmu itu diperbandingkan dengan tong yang kosong. Hanya tong yang kosong yang kalau dipukul akan berbunyi nyaring, tong yang berisi penuh tentunya tak akan berbunyi nyaring. Sebaliknya orang pandai, orang yang banyak ilmunya biasanya pendiam, merunduk dan tidak pongah. Keadaan ini disebutkan dengan peribahasa yang berbunyi bagai padi, semakin berisi, semakin merunduk.
7. Makna Kias
Dalam kehidupan sehari-hari dan juga dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S Poerwadarminta digunakan istilah arti kiasan. Tampaknya penggunaan istilah arti kiasan ini sebagai oposisi dari arti sebenarnya. Oleh karena itu, semua bentuk bahasa (baik kata, frase, maupun kalimat) yang tidak merujuk pada arti sebenarnya (arti leksikal, arti konseptual, atau arti denotatif) disebut mempunyai arti kiasan. Jadi, bentuk-bentuk seperti putri malam dalam arti bulan, raja siang dalam arti matahari, daki dunia dalam arti harta uang, membanting tulang dalam arti bekerja keras, kapal padang pasir dalam arti unta, pencakar langit dalam arti gedung bertingkat tinggi, dan kata bunga dalam kalimat Aminah adalah bunga di desa kami dalam arti gadis cantik, semuanya mempunyai arti kiasan.
8. Makna Lokusi, Ilokusi, dan Perlokusi Dalam kajian tindak tutur dikenal adanya makna ilokusi, makna ilokusi, dan makna perlokusi. Makna lokusi adalah makna seperti yang dinyatakan dalam ujaran, makna harfiah, atau makna apa adanya. Sedangkan yang dimaksud dengan makna ilokusi adalah makna seperti yang dipahami oleh pendengar. Sebaliknya, yang dimaksud dengan makna perlokusi adalah makna seperti yang diinginkan oleh penutur. Misalnya kalau seseorang kepada tukang afdruk foto dipinggir jalan bertanya, “bang, tiga kali empat berapa?” Makna secara lokusi kalimat tersebut adalah keinginan tahu dari si penutur tentang berapa tiga kali empat. Namun, makna perkolusi, makna yang diinginkan si penutur adalah bahwa si penutur ingin tahu berapa biaya mencetak foto ukuran tiga kali empat sentimeter. Kalau si pendengar, yaitu tukang afdruk foto itu memiliki makna ilokusi yang sama dengan makna perlokusi dari si penanya, tentu dia akan menjawab, misalnya “dua ribu” atau “tiga ribu”. Tetapi kalau makna ilokusinya sama dengan makna lokusi dari ujaran “tiga kali empat berapa”, dia pasti akan menjawab “dua belas”, bukan jawaban lain.
E. Medan Makna
Medan makna (semantic domain, semantik field) atau sering kita sebut medan leksikal adalah seperangkat unsur leksikal yang maknanya saling berhubungan karena menggambarkan bagian bidang kebudayaan atau realitas dalam alam semesta tertentu. Misalnya: nama-nama warna, nam-nama perabot rumah tangga, atau nama-nama perkerabatan yang masing-masing merupakan satu medan makna. Banyaknya unsur leksikal dalam satu medan makna antara bahasa satu dengan bahasa lain tidak sama besarnya. Karena hal tersebut berkaian erat dengan sistem budaya masyarakat pemilik bahasa itu. Jumlah nama atau istilah perkerabatan juga idak sama banyaknya antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lain. Seperti contohnya jika medan makna melihat dari kesamaan ciri semantik dlam satu kelompok warna dalam bahasa indonesia mengenal nama merah, coklat, biru, hijau, kuning, hitam. Untuk menyatakan nuansa warna yang berbeda, bahasa indonesia memberi keterangan perbandingan seperti merah darah, meah jambu, merah bata. Dalam bahasa inggris mengenal 11 warna dasar yakni: white, red, green, yellow, blue, brown, purple, pink, orange, dan grey. Dalam bahasa arab ada kata , ألوانterbagi menjadi beberapa macam yakni:
زرق, أصفر, أبيض, أسود أ أسود, أحمر,
Pengelompokan kata-kata berdasarkan medan magnetnya sangat tergantung pada kinsep budaya masing-masing masyarakat pemakai bahasa itu.Didalam buku Thesaurus of english word and phrases classified and arranged so as to facilitate the expression of ideas and assist n literacy composition oleh peter mark roget (1779- 1868) terdaftar 1042 kelompok medan makna yang seluruhnya terdiri dari 250.000 kaa dan frase. Namun, dalam studi medan makna ini, seperti yang dilakukan Nida (1974 dan 1975 kata-kata biasanya dibagi atas 4 kelompok yaitu: kelompok bendaan, kelompok kejadian/ peristiwa, kelompok abstrak, dan kelompok relasi. Namun pada dasarnya kata-kata atau leksem-leksem yang mengelompok dalam satu medan makna, berdasarkan sifat hubungan semantiknya dapat dibedakan atas kelompok medan kolokasi dan medan set. Secara umum medan makna merupakansalah satu metode untuk menganalisa makna yang terdapat pada kata atau unsur leksikal.
1. Medan kolokasi
Yaitu medan yang menunjukan pada hubungan sintagmantiknya yang terdapat antara unsur-unsur leksikal itu. Kolokasi berasal dari bahsa latin colloco ysng bersrti sds ditempat yang sama
Contoh:
Dalam bahasa indonesia:
- Tiang layar perahu nelayan itu patah dihantam badai, lalu perahu itu digulung ombak dan tenggelam beserta segala isinya.
Dari contoh diatas kita dapati kata-kata layar, perahu, nelayan, ombak, dan tenggelam yang merupakan kata-kata dalam satu kolokasi, satu tempat, dan satu lingkungan yang sama. Dalam hal ini lingkungan yang dimaksud adalah lingungan kelautan.
- Kata cabe, bawang, terasi, garam, merica, dan lada juga berada dalam satu kolokasi yakni bumbu dapur.
Dalam bahasa arab contohnya:
- يسمع – أذن tidak mungkin يسمع – عين
- يرى – عين
2. Medan set
Yaitu medan yang menunjukan pada hubungan paradigmatik, karena kata-kata yang berada dalam satu kelompok set itu saling bisa disubstitusikan. Sekelompok kata yang merupakan satu set biasanya mempunyai kelas yang sama dan juga merupakan satu kesatuan. Setiap kata dalam set dibatasi oleh tempatnya dalam hubungan anggota-anggota lain dalam set itu.
Contoh:
Dalam bahasa arab:
- يذهب أحمد إلى المدرسة (الجامعة / سورابايا / الميدان)
Dlam contoh diatas dapat kita pahami bahwa dalam kata يذهب – المدرسة – الجامعة - سورابايا - الميدان berada dalam satu medan makna yang memiliki hubungan makna dan tidak terikat. Kata يذهب bisa saja berpasangan dengan سورابايا atau المدرسة ataupun الميدان.
3. KOMPONEN MAKNA
Pada dasarnya setiap kata (leksem) tentu mempunyai makna. Makna yang dimiliki oleh setiap kata itu terdiri dari sejumlah komponen yang disebut dengan komponen makna. Komponen makna ini dapat dianalisis. Contohnya dlam hal ini adlah sebagai berikut:
- Kata “ayah” dan ibu memiliki komponen makna seperti bagan dibawah ini:
Komponen makna Ayah Ibu
Manusia + +
Dewasa + +
Jantan + _
Kawin + +
Punya anak + +
Dari bagan komponen diatas maka dapat diketahui bahwa makna dari ayah dan ibu berbeda. Dan beda dari ayah dan ibu hanalah pada komponen makna “jantan” ayah memiliki komponen jantan sedangkan ibu tidak.
- Kalimat “tumpukan pakaian itu dari jauh nampak seperti orang” dengan “ tumpukan pakaian itu dari jauh nampak seperti manusia”.
Makhluk Bernyawa Berakal budi
Orang + + +
Manusia + + +
Kalimat “tumpukan pakaian itu dari jauh nampak seperti orang” dengan “ tumpukan pakaian itu dari jauh nampak seperti manusia” hal tersebut dapat dilihat melalui analisis komponen.
Beberapa kesulitan menganalisis komponen makna:
- Kata yang didengar atau yang dibaca tidak diikuti dengan unsur suprasegmental atau juga unsur ekstra linguistik..
- Tiap kata berbeda maknanya jika dilihat dari segi disipli ilmu.
- Setiap kata memiliki pemakaian yang berbeda, terutama untuk kata-kata yang mempunyai hubungan renggang.
- Kata-kata yang acuannya abstrak.
- Kata-kata yang tegolong diksi.
- Kata-kata yang bersifat umum.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kata semantik dalam bahasa Indonesia (Inggris: Semantics) berasal dari bahasa Yunani sema ( kata benda yang berarti “tanda” atau “lambang”). Kata kerjanya adalah semanio yang berarti “menandai” atau “melambangkan”. Yang dimaksud dengan tanda atau lambang di sini sebagai padanan kata sema itu adalah tanda linguistik (Prancis: signe linguistique) seperti yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure (1966), yaitu terdiri dari (1) komponen yang mengartikan, yang berwujud bentuk-bentuk bunyi bahasa dan (2) komponen yang diartikan atau makna dari komponen yang pertama itu. Kedua komponen ini adalah merupakan tanda atau lambang, sedangkan yang ditandai atau dilambanginya adalah sesuatu yang berada di luar bahasa yang lazim disebut referen atau hal yang ditunjuk. Kata semantik sebenarnya merupakan istilah teknis yang mengacu pada studi tentang makna. Istilah semantik dibagi subdisiplin linguistik muncul pada abad ke- 19. Yakni pada tahun 1825 seorang pakar klasik yang bernama C. Reisig mengemukakan pendapatnya tentang tata bahasa yang terbagi menjadi 3 bagian: etimologi, sintaksis, dan semasiologi (ilmu makna). Kemudian dilanjutkan dan diperkenalkan oleh M. Breal yakni berpadanan kata semantique dalam bahasa perancis yang diserap dari bahasa yunani. Ruang lingkup semantik mencakup bidang yang sangat luas, baik dari segi struktur dan fungsi bahasa maupun dari segi interdisiplin bidang ilmu. Namun dalam hal ini ruang lingkup semantik terbatas pada hubungan ilmu makna itu sendiri dibidang linguistik. Meskipun faktor non linguistik ikut mempengaruhi sebagai fungsi bahasa non simbolik (emotif dan afektif). Semantik adalah studi suatu pembeda bahasa dengan hubungan proses mental atau simbolisme dalam aktivitas bicara. (ency Vritanica, 1965). Makna adalah pertautan yang ada diantara unsur-unsur bahasa itu sendiri.makna menurut palmer hanya menyangkut intra bahasa. Sejalan dengan pendapat tersebut Lycons menyebutkan bahwa mengkaji atau memberikan makna suatu kata ialah memahami kajian kata tersebut berbeda dari kata-kata yang lain. Arti dalam hal ini menyangkut makna leksikal yang cenderung terdapat didalam kamus sebagai leksikon. Kajian makna bahasa meliputi:
• Kajian makna Leksikal dan makna gramatikal
• Kajian makna referensial dan non referensial
• Makna denotatif dan konotatif
• Makna kata dan makna istilah
• Makna Konseptual dan Makna Asosiatif
• Kajian Idiomatikal dan peribahasa
• Makna Kias
• Makna Lokusi, Ilokusi, dan Perlokusi
Medan makna (semantic domain, semantik field) atau sering kita sebut medan leksikal adalah seperangkat unsur leksikal yang maknanya saling berhubungan karena menggambarkan bagian bidang kebudayaan atau realitas dalam alam semesta tertentu. Misalnya: nama-nama warna, nam-nama perabot rumah tangga, atau nama-nama perkerabatan yang masing-masing merupakan satu medan makna. Banyaknya unsur leksikal dalam satu medan makna antara bahasa satu dengan bahasa lain tidak sama besarnya. Karena hal tersebut berkaian erat dengan sistem budaya masyarakat pemilik bahasa itu. Jumlah nama atau istilah perkerabatan juga idak sama banyaknya antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lain. Seperti contohnya jika medan makna melihat dari kesamaan ciri semantik dlam satu kelompok warna dalam bahasa indonesia mengenal nama merah, coklat, biru, hijau, kuning, hitam. Untuk menyatakan nuansa warna yang berbeda, bahasa indonesia memberi keterangan perbandingan seperti merah darah, meah jambu, merah bata.
0 komentar:
Posting Komentar